Sesungguhnya Dia Sangat Cemas

Sabtu, 28 Agustus 2010

MESKI malam telah sempurna, perempuan itu masih saja termenung di mulut pintu. Ia tak bisa tidur. Kebimbangannya menggunung. Adik-adiknya telah sedari tadi dibekap mimpi. Pikirannya berlari-lari, berputar-putar, sampai akhirnya bermuara pada seorang lelaki yang sehabis magrib tadi turun melaut bersama beberapa kawan.

Apakah ia akan pulang dengan selamat? Pertanyaan itu seolah mengabaikan kelakuan alam yang tak patut dirisaukan; langit yang cerah, bintang-bintang yang berserakan, bulan yang jingga penuh, atau angin laut yang berembus sewajarnya, membawa air asin beriak, lamat-lamat menggapai tubir pantai...

Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Meski lelaki itu sudah dikenalnya semenjak masa kanak, ia memang jarang menaruh perhatian berlebih padanya. Ia seolah menganggapnya bocah kecil yang terpisah dari dunianya; menjelma si pengembara yang tersesat di kampung halamannya, lalu Tuhan menciptakan sebuah perkenalan yang memaksa jantung mereka berdegup tak sewajarnya. Bagai dapat membaca semuanya, dan nyaris tanpa mukadimah, laki-laki itu menyuntingnya. Tanpa didampingi orang tua dan keluarga. Tanpa antar-antaran. Hanya dengan Alquran murah bersampul warna emas, telekung tipis berenda kembang mangkok, dan --ini yang dikatakan laki-laki itu sebagai mutumanikam dari langit-- setangkai cinta!

Bayi Bersayap Jelita

KAKEK bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus...

Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap -mungkin Kakek sengaja mematikan lampu- aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. ''Masuklah,'' suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya di ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap?

Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang.

Dua hari sebelum puasa, ibu menelepon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat -ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. ''Biar aku urus Nina,'' katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah.

Aku tak terlalu dekat dengan Kakek. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya.

Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata Nenek. Aku memang tak suka setiap melihat Kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku -seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda- sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.

Ranggalawe Gugur

Bukan kematian benar menusuk kalbu 


Keridlaanmu menerima segala tiba


Tak kutahu setinggi itu atas debu


dan duka maha tuan bertakhta

---

Di atas panggung, beberapa kotak yang disembunyikan begitu saja di balik kain hitam, Ranggalawe gugur. Tujuh bidadari tua mengelilingi tubuhnya yang tegak berdiri -bahkan kematian tak mampu merubuhkannya. Mereka melempari tubuh yang mematung itu dengan bunga. Hanya angin malam yang sanggup menyaksikannya. Angin yang sejak 10 tahun yang lalu menggerakkan rombongan itu dari satu lapangan ke lapangan yang lain. Dari satu kesepian menuju kesepian berikutnya. Dan malam itu selesailah semuanya. Angin tak sanggup lagi menggerakkan mereka menuju pemberhentian berikutnya. Lalu angin pelan-pelan mati. Dan tak mampu menggerakkan dirinya sendiri.

''Malam ini adalah pertunjukan terakhir kami. Tak ada lagi yang menginginkan kehadiran kami. Tak ada lagi yang menyaksikan kami. Kami tak punya alasan lagi untuk berlama-lama di sini.'' Seseorang gendut berkaos hitam membuka acara. Di belakangnya berjajar para aktor mengenakan kostumnya masing-masing. Wajah-wajah yang tak bahagia telah disembunyikan sejak sore tadi di balik bedak. Kakek-kakek di balik wajah Menak Jingga yang merah mencoba berdiri tegak. Ranggalawe yang berdiri di sampingnya demikian pula. Sebentar lagi mereka akan bertarung untuk terakhir kalinya.

Lalu pertunjukan pun dimulai setelah beberapa orang naik ke panggung untuk menyampaikan simpati -sejumlah puisi. Mereka berduka atas kematian dan tak bisa berbuat apa-apa. Tapi siapa sesungguhnya yang harus bertanggung jawab atas kematian ini? Malam itu tak sebagaimana biasanya, mereka meninggalkan tobongnya -tobong yang sesungguhnya telah lama kosong. Kain-kain dekorasi mereka pasang di beberapa penjuru, layar-layar yang sudah tak sanggup menggambarkan apa-apa. Mereka telah lama kehilangan warna. Serupa bendera-bendera kematian. Gerbang tobong juga mereka pasang sebagai penanda merekalah satu-satunya rombongan ketoprak tobong yang tersisa.

Kisah Batu Menangis

Sekali waktu kau perlu mendengarkan rintihan benda-benda atau apa saja di sekitarmu yang tak pernah kau beri perhatian. Mungkin itu sebutir kerikil, mungkin seekor kadal, atau sebatang alang-alang, atau apa saja.


Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah batu yang menangis. Ia mungkin menyampaikan cerita agar kau lebih berhati-hati. Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika suatu saat burung penguinmu ditonton orang di mana-mana dan dijadikan bahan ketawaan. Mungkin burung itu terlalu kecil atau terlalu besar atau mempunyai codet sedikit, namun kalaupun ukurannya sempurna dan wajahnya tampan, ia tetaplah tak pantas dipentaskan di layar-layar handphone atau layar-layar komputer semua orang. Bagaimanapun burung itu bukanlah penyanyi atau tukang sulap atau badut ulang tahun yang memerlukan panggung. Ia lebih baik mendekam saja di sangkarnya dan tidak perlu diumbar di hadapan orang ramai.

Jadi, kuncilah kandangnya baik-baik. Memang ia tidak akan terbang meninggalkanmu kalaupun kau membuka kandangnya seharian, tapi kuncilah. Kautahu, ia jenis penguin yang hanya bisa menyelam. Konon ia memiliki kehendaknya sendiri yang kau kadang-kadang kesulitan mengendalikannya. Maka kau mungkin terdorong menuruti apa saja keinginannya, menyelam ke dasar palung-palung keramat, seperti seorang penyelam yang tergila-gila pada dasar laut, atau seperti para penjelajah yang mengembarai tempat-tempat muskil di alam semesta. Orang-orang akan bilang itu godaan, kau mungkin menganggapnya tantangan. Menurutku, akan sulit bagimu menjadi pejabat yang baik jika kau tak bisa mengendalikan kegemaranmu untuk menyelam dan menjelajah secara serampangan.

Dengan kegemaran menyelam yang tak terkendalikan itu, suatu saat atraksi penguinmu bisa menjadi tontonan banyak orang. Apakah seorang penyanyi dangdut atau pengamen keliling yang bakal menyebarkannya, bukan itu persoalannya. Persoalannya, burungmu tidak perlu disebar-sebarkan ke hadapan orang-orang. Kau tentu berharap penyelaman-penyelaman yang ia lakukan, atau penjelajahan yang ia jalani, sebisa-bisanya tetap menjadi rahasia. Istrimu perlu diyakinkan bahwa burungmu selalu mendekam patuh di kandangnya pada saat kau keluar rumah. Anakmu tak perlu mendengar atau melihat atraksi burungmu di layar handphone temannya. Dan orang-orang tak perlu tahu juga apakah penguinmu selucu kodok atau segagah elang atau cuma semungil berudu.

Setangkai Zaitun Bangsa Palestina

 Kawasan Timur Tengah tak putus dirundung pergolakan. Bangsa Palestina terus terisolasi di kampung halaman sendiri. Invasi konyol salah rancang yang mahal dan bersimbah darah ke Iraq merupakan bencana strategis Amerika Serikat (AS). Iraq karut-marut dalam perang saudara memilukan setelah Saddam Hussein dimakzulkan. Israel-Palestina makin terperosok ke dalam pusaran konflik. Hamas dan Fatah makin berebut dominasi komunitas Palestina. Iran makin ngotot menguasai siklus senjata pemusnah masal. Syria-Lebanon terus bersengketa dengan Israel soal dataran tinggi Golan. Al Qaidah makin beringas menjadikan AS sasaran agresi.

Bagaimana suatu kelompok kepentingan di AS bisa melembagakan kekerasan di Timur Tengah? Mengapa lobi Yahudi justru membunuh masa depan bangsa Israel? Mengapa alasan moralitas usang tentang Israel malah merusak reputasi AS? Itulah perdebatan utama yang dibahas dengan sangat memikat oleh John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam buku tentang lobi Israel dan kebijakan Timur Tengah pemerintah AS.

Buku duet profesor ilmu politik Universitas Chicago dan profesor hubungan internasional Universitas Harvard ini mengkaji pengaruh kekuatan lobi Israel dalam kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah. Lobi Israel merupakan koalisi longgar yang berusaha memengaruhi kebijakan politik luar negeri AS supaya oleng ke Israel.

Kelompok kepentingan perkasa itu menginginkan para pemimpin AS memperlakukan Israel seolah-olah negara bagian ke-51. Selain mendorong AS mendukung Israel tanpa syarat, individu-individu dan kelompok-kelompok dalam lobi, misalnya American-Israel Public Affairs Committee (AIPAC), memainkan peran penting dalam membentuk kebijakan AS untuk konflik Israel-Palestina, invasi brutal ke Iraq, serta konfrontasi memalukan dengan Syria, Lebanon, dan Iran.
Powered By Blogger