KAKEK bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus...
Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap -mungkin Kakek sengaja mematikan lampu- aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. ''Masuklah,'' suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya di ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang.
Dua hari sebelum puasa, ibu menelepon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat -ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. ''Biar aku urus Nina,'' katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah.
Aku tak terlalu dekat dengan Kakek. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya.
Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata Nenek. Aku memang tak suka setiap melihat Kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku -seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda- sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.