Kisah Batu Menangis

Sabtu, 28 Agustus 2010

Sekali waktu kau perlu mendengarkan rintihan benda-benda atau apa saja di sekitarmu yang tak pernah kau beri perhatian. Mungkin itu sebutir kerikil, mungkin seekor kadal, atau sebatang alang-alang, atau apa saja.


Sekarang akan kusampaikan kepadamu sebongkah batu yang menangis. Ia mungkin menyampaikan cerita agar kau lebih berhati-hati. Maksudku, kau pasti akan merasa serba tak enak jika suatu saat burung penguinmu ditonton orang di mana-mana dan dijadikan bahan ketawaan. Mungkin burung itu terlalu kecil atau terlalu besar atau mempunyai codet sedikit, namun kalaupun ukurannya sempurna dan wajahnya tampan, ia tetaplah tak pantas dipentaskan di layar-layar handphone atau layar-layar komputer semua orang. Bagaimanapun burung itu bukanlah penyanyi atau tukang sulap atau badut ulang tahun yang memerlukan panggung. Ia lebih baik mendekam saja di sangkarnya dan tidak perlu diumbar di hadapan orang ramai.

Jadi, kuncilah kandangnya baik-baik. Memang ia tidak akan terbang meninggalkanmu kalaupun kau membuka kandangnya seharian, tapi kuncilah. Kautahu, ia jenis penguin yang hanya bisa menyelam. Konon ia memiliki kehendaknya sendiri yang kau kadang-kadang kesulitan mengendalikannya. Maka kau mungkin terdorong menuruti apa saja keinginannya, menyelam ke dasar palung-palung keramat, seperti seorang penyelam yang tergila-gila pada dasar laut, atau seperti para penjelajah yang mengembarai tempat-tempat muskil di alam semesta. Orang-orang akan bilang itu godaan, kau mungkin menganggapnya tantangan. Menurutku, akan sulit bagimu menjadi pejabat yang baik jika kau tak bisa mengendalikan kegemaranmu untuk menyelam dan menjelajah secara serampangan.

Dengan kegemaran menyelam yang tak terkendalikan itu, suatu saat atraksi penguinmu bisa menjadi tontonan banyak orang. Apakah seorang penyanyi dangdut atau pengamen keliling yang bakal menyebarkannya, bukan itu persoalannya. Persoalannya, burungmu tidak perlu disebar-sebarkan ke hadapan orang-orang. Kau tentu berharap penyelaman-penyelaman yang ia lakukan, atau penjelajahan yang ia jalani, sebisa-bisanya tetap menjadi rahasia. Istrimu perlu diyakinkan bahwa burungmu selalu mendekam patuh di kandangnya pada saat kau keluar rumah. Anakmu tak perlu mendengar atau melihat atraksi burungmu di layar handphone temannya. Dan orang-orang tak perlu tahu juga apakah penguinmu selucu kodok atau segagah elang atau cuma semungil berudu.


Kau tahu kejadian seperti ini pernah menimpa seorang pejabat. Seorang penyanyi dangdut menyebarkan atraksi burung yang ia rekam dan kemudian gambar itu beredar dengan cepat sekali dan kau tak lagi mendengar nama pejabat itu. Si penyanyi dangdut sedikit laris beberapa saat, tetapi surut lagi beberapa waktu kemudian. Aku tidak tahu apakah pejabat itu melakukan operasi plastik untuk berganti muka, atau dia dikirimkan ke luar negeri untuk tugas belajar oleh partainya dan pulang bertahun-tahun nanti sebagai orang pandai yang siap memegang jabatan baru. Setelah berganti muka, ia bisa menjadi apa saja. Kejadian seperti ini mungkin masih akan terjadi lagi -pada pejabat lain atau pada orang-orang bukan pejabat, atau pada anak-anak sekolah yang menirukan perilaku pejabat. Entahlah.

Pada waktu orang-orang ribut membicarakan pertunjukan burung itu, aku sungguh mengagumi istri si pejabat yang membela mati-matian suaminya. Kau tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalam rumah mereka. Mungkin mereka berantam, istrinya memaki-maki dan si suami tidak bisa menjawab apa-apa. Tetapi apa kau begitu ingin tahu urusan rumah tangga orang?

Yang perlu kau jaga adalah jangan sampai hal serupa terjadi padamu. Itu akan merepotkanmu, apalagi jika kau bukan pejabat. Kau tak punya uang untuk membiayai bedah plastik mengganti wajahmu. Dan kurasa istrimu tak akan membelamu mati-matian di depan orang-orang. Mungkin ia justru mencacimu sepanjang waktu sampai kau merasa bahwa rumah tangga kalian tidak bisa dipertahankan lagi. ''Kami tak ada lagi kecocokan,'' katamu pada akhirnya.

Tentu saja. Memang tampaknya tidak ada perempuan yang cocok berumah tangga dengan pemilik burung yang suka menyelami palung-palung lain. Seperti kau sendiri tak merasa cocok dengan perempuan yang membuka palungnya untuk diselami penguin-penguin lain.

Kusampaikan hal ini sebab ada tetangga kita yang mengalami nasib buruk ketika burungnya tiba-tiba ditonton banyak orang dan segerombol anak remaja kulihat cekikikan di depan layar handphone mereka. Aku tidak tahu apakah ada anakmu di antara mereka.

''Aku dihancurkan oleh musuhku," kata lelaki itu.

Kurasa ia berlebihan. Tak ada untungnya menghancurkan pegawai negeri kecil-kecilan di pelosok Grobogan. Jika aku bertemu dengannya, pasti kutanyakan, ''Siapa yang menghancurkanmu?''

Namun, bisa saja ia benar. Pertarungan tidak hanya terjadi pada orang-orang besar, pada orang melarat pun terjadi pertarungan. Pertandingan sepak bola tidak hanya seru pada kompetisi Piala Dunia, pertandingan antarkampung pun bisa sangat seru. Nah, yang terjadi pada pegawai Grobogan itu kukira sama serunya dengan sepak bola kampungan. Seperti pertandingan persahabatan yang berakhir ricuh.

Lelaki itu melakukan atraksi penguin di sebuah rumah makan yang menyediakan dangau-dangau untuk para pengunjung. Itu tempat makan yang menyenangkan. Di bawahnya ada kolam tempat ikan-ikan piaraan berenang-renang beberapa waktu sebelum ditangkap dan dimasak. Di sekelilingnya petak-petak sawah terhampar luas, padi-padinya meranggas. Di salah satu dangau di rumah makan itulah ia melakukan atraksi. Aku kagum dan sedih melihat film itu. Pada saat penguinnya menyelam, lelaki itu tetap menampilkan paras muka seperti orang yang sedang makan. Itu mengagumkan. Tetapi aku sedih oleh kenyataan lain di benakku.

''Bajingan itu tak mungkin bisa sembuh,'' istri si lelaki meradang ketika film suaminya menyebar. ''Sudah tiga kali ia melakukannya.''

Perempuan itu pantas mengamuk bukan semata karena ia perempuan. Ia juga dulunya pasangan atraksi si lelaki, yang kemudian dinikahi sebagai istri ketiga setelah laki-laki pemilik penguin itu menceraikan istri keduanya. Jika kita percaya ucapannya bahwa lelaki itu sudah tiga kali melakukannya, mungkin istri kedua lelaki itu juga didapat melalui atraksi di dangau yang sama, yang membuat istri pertamanya meracau dan minta cerai.

Tetapi aku tak tahu persis soal istri kedua dan pertama, hanya kutahu riwayat istri ketiga. Perempuan itu terus mengamuk, si lelaki tidak berkutik. Ia bukan pejabat dan tidak ada wartawan yang mengejarnya untuk wawancara dan istrinya tidak membelanya dengan mengatakan bahwa ia ayah dan suami yang baik. Tidak ada pula yang mengirimkannya sekolah ke luar negeri, atau mengirimnya transmigrasi ke pulau lain untuk pulang lagi dengan jabatan baru bertahun-tahun kemudian.

Paling banter ia hanya bisa meratapi nasib buruknya. Mengapa bukan burung orang lain yang dipertontonkan di muka umum? Mengapa burungnya? ''Apa sebenarnya salah saya?'' tanyanya, seperti bayi baru lahir yang dikutuk oleh nasib buruk pada hari pertama ia dilahirkan, seperti orang suci yang dihukum karena mengajarkan kebenaran. Sampai hari ini ia tidak tahu siapa yang telah merekam dan siapa yang menyebar-nyebarkan atraksi penguinnya.

Tentang istri ketiganya, orang yang kuketahui riwayatnya, ia masih mengamuk bertahun-tahun setelah kejadian itu, bahkan bertahun-tahun setelah mereka bercerai. Perempuan itu terus menyambar-nyambar dengan mulutnya yang tak terkendalikan. Aku mendengar setiap amukannya sebab ia kemudian menjadi istriku dan ia terus meracau, mengutuk bahwa setiap lelaki tak ada bedanya. Ketika atraksi pejabat dan penyanyi dangdut itu menyebar, ia juga menyalak. ''Pejabat atau kere sama saja,'' katanya. ''Istri pejabat itu munafik-fik-fik-fik!''

Yah, kau bisa mengukur tingkat kemarahannya dengan menghitung jumlah ''fik'' yang ia ucapkan. Aku sebetulnya ingin mengatakan bahwa ia pun pernah melakukan hal yang sama dengan bekas suaminya sebelum mereka menjadi suami istri dan ketika lelaki itu masih menjadi suami perempuan lain. ''Janganlah melupakan sejarahmu sendiri,'' aku ingin mengatakan begitu, tetapi kutahan saja. Apa gunanya? Istriku terus mencaci. Aku seperti tenggelam dalam pusaran yang keruh dan membuatku sulit bernapas. Kurasa aku bisa mati lemas jika perempuan itu tak menghentikan caciannya.

Tentu saja aku menyadari bahwa masa lalunya pahit dan itu tak mudah dilupakan. Kenangan pahit, kau tahu, akan melekat lebih kuat di dalam pikiran ketimbang kenangan manis. Jika kau berpasangan dengan orang yang penuh kenangan pahit, kau harus selalu bisa membuat hatinya tenteram, sebab hal-hal kecil bisa membuat pasanganmu meradang-menerjang dan ia akan menyamakanmu dengan orang-orang yang pernah mengecewakannya.

''Semua lelaki tak ada bedanya,'' katanya, seolah-olah ia telah dikhianati oleh semua lelaki. Seolah-olah ia pernah menjadi istri semua lelaki, dan sudah pernah dikhianati oleh sejuta lelaki.

Sebetulnya aku merasa sakit hati setiap kali ia mengutuk bekas suaminya itu. Menurutku ia tak pantas terus-menerus membicarakan lelaki itu di depanku, apa pun alasannya. Bagaimanapun, sekarang akulah suaminya. Dan kemarahan perempuan itu, yang tak pernah reda, membuatku merasa tak berarti. Aku merasa bahwa ia tak sopan terus menyebut-nyebut lelaki itu di hadapanku, tetapi ia berkali-kali melakukannya.

Ketika aku menanyakan kepadanya dengan suara gemetar apakah ia mau menjadi istriku, aku sama sekali tidak menduga keadaannya akan seperti ini. Aku tahu ia seorang janda dan ia merasa dikhianati bekas suaminya. Ia sering menceritakan lelaki itu selama kami berpacaran dua bulan sebelum menikah. ''Kau mungkin pernah melihat film itu,'' katanya.

Aku mengangguk. Sudah kubilang kepadamu, aku sedih melihat film itu.

''Kurasa rumah makan itu akan mendapat kutuk sepanjang masa,'' katanya.

''Mungkin begitu,'' kataku.

''Pasti begitu,'' katanya. ''Tempat itu dilekati kutuk sepanjang masa, yang ditinggalkan si keparat mesum itu. Dan kurasa tak ada lagi orang yang mau makan di sana.''

Beberapa hari sebelumnya aku makan di tempat itu bersama beberapa kawan dan aku tidak mengatakan itu kepadanya. Kurasa tak ada gunanya mengatakan hal itu kepada perempuan yang sedang berkobar-kobar menyampaikan kutukannya. Kau tahu, rumah makan itu masih ramai dikunjungi orang ketika aku makan di sana. Kurasa kutukan perempuan itu akan menjadi kenyataan jika semua pengunjung yang makan di sana tidak membayar apa yang mereka makan.

Perempuan itu empat puluh tiga tahun ketika kami menikah dan aku lima puluh empat tahun dan itu pernikahan pertamaku. Itu pernikahan yang kutunggu-tunggu dengan orang yang diam-diam selalu kuinginkan menjadi istriku. Setahun setelah pernikahan, aku pensiun dari pekerjaanku.

Aku jatuh cinta padanya dua puluh tahun sebelum kami menikah, pada bulan pertama ia masuk bekerja, dan ia tidak pernah tahu aku mencintainya. Usiaku 34 ketika dia mulai masuk bekerja di kantor tempatku bekerja dan aku tidak pernah menunjukkan rasa cintaku padanya meskipun aku menginginkan ia menjadi istriku. Tujuh tahun kemudian, ketika umurnya 30 dan aku 41, ia berpacaran dengan lelaki yang sudah beristri, orang dari kantor sebelah yang usianya lima tahun di bawahku.

Lelaki itulah yang kemudian menikahinya, setelah menceraikan istrinya (tepatnya, istri keduanya), dan tujuh tahun kemudian perkawinan mereka bubar. Si keparat, begitu ia selalu menyebut lelaki itu, berselingkuh dengan perempuan lain dan melakukan atraksi lagi di dangau sebuah rumah makan. Aku diam-diam menangis ketika orang-orang membicarakan perbuatan lelaki itu. Aku menangisi nasib buruk perempuan yang kucintai -ia dikhianati oleh suaminya. Kenapa seburuk itu nasib perempuan yang kucintai?

Tujuh tahun sebelumnya aku juga menangis ketika perempuan itu keluar dari tempat kerja kami untuk menikah dengan si keparat. Rasanya seperti aku sendiri yang dipandang semua orang dengan tatapan mengejek. Aku merasa semua orang di kantor menganggapku lelaki tolol yang tak mampu melindungi perempuan yang dicintai dari terkaman bangsat.

Enam tahun setelah perceraiannya, aku bertemu lagi dengan perempuan yang kucintai. Ia tampak menyedihkan tetapi kepada perempuan itu aku membuktikan bahwa rasa cinta bisa abadi. Aku hampir menangis bertemu lagi dengannya di sebuah rumah makan dan kami menikah dua bulan kemudian. Kami menjalani rumah tangga dengan cara tersendat-sendat dan aku selalu ingin menangis sepanjang sembilan tahun sejak pernikahan setiap kali mendengar ia mencaci-maki bekas suaminya.

Apa saja bisa membuatnya mengutuk si keparat yang pernah menjadi suaminya itu. Begitupun ketika rekaman atraksi pejabat dan penyanyi dangdut itu menyebar di handphone orang-orang. Istriku terus meracau bahwa semua lelaki adalah bajingan. Pernikahan kami sudah hampir sepuluh tahun, dan umurku sebentar lagi 65. Sudah saatnya aku memikirkan ketenteraman seperti resi-resi zaman dulu, menghabiskan air mata di tempat sunyi. Maka aku menyelinap malam-malam ke selatan, ke sebuah gua di kaki bukit.

Dan, kautahu, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku menangis sepanjang malam di dalam gua itu dan segalanya berubah ketika aku terbangun keesokan harinya. Mungkin aku tertidur 300 tahun seperti orang-orang dari cerita lama. Atau... oh, aku di negeri para raksasa. Kulihat ada beberapa raksasa kanak-kanak mendekatiku. Salah satu dari mereka memungutku.

''Ia terus menangis,'' katanya.

Ia mendekapku dan membawaku pulang ke rumahnya. Aku terus menangis dan air mataku membawa keberuntungan bagi anak itu dan keluarganya. Mereka menarik bayaran kepada orang-orang yang datang menontonku: sebongkah batu kecil berbentuk kelinci yang meneteskan air mata sepanjang hari.

0 komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger